This awesome blogger theme comes under a Creative Commons license. They are free of charge to use as a theme for your blog and you can make changes to the templates to suit your needs.
RSS

ASAL-USUL ILMU TAJWID DAN NAHWU

Tajwid berasal dari kata jawwada- yujawwidu- tajwiidan mengikuti wazan taf’iil yang berarti membuat sesuatu menjadi bagus. Di dalam beberapa buku tajwid disebutkan bahwa Istilah ini muncul ketika seseorang bertanya kepada khalifah ke-empat, ‘Ali bin Abi Thalib tentang firman Allah yang berbunyi:
ورتل القرأن ترتيلا
Baliau menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf  yang artinya membaca huruf-hurufnya dengan bagus (sesuai dengan makhraj dan shifatnya) dan tahu tempat-tempat waqaf.
Selama ini memang belum ditemukan musnad atau khabar tentang perkataan beliau mengenai hal di atas dan kisah ini hanya dapat dijumpai dalam kitab-kitab tajwid akan tetapi para ulama’ bersepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah tajwiidul huruuf wa ma’rifatil wuquuf.
Kita semua tahu bahwasanya Al-qur’an adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah adalah orang arab, maka Al-1ur’an diturunkan dengan bahasa arab, yaitu bahasa beliau dan bahasa kaum arab. Allah berfirman:
وإنه لذكر لك و لقومك
Ketika Al-qur’an diturunkan, pada masa itu tidak ada kewajiban bagi umat islam untuk mempelajari ilmu tajwid karena Al-qur’an diturunkan dengan bahasa arab dan bahasa arab merupakan bahasa keseharian mereka. Jadi mereka tidak mempunyai kesulitan sama sekali dalam pelafalan huruf-huruf dalam al-qur’an.
Ketika orang-orang a’jam[1] mulai masuk islam, muncullah masalah baru yakni masalah tentang pelafalan huruf karena ketika mereka mambaca Al-qur’an ada beberapa huruf dan bentuk I’rab[2] yang tidak terdapat dalam bahasa mereka padahal bahasa arab dibangun dari I’rab. Apabila satu harakat pada akhir sebuah kalimat berubah maka maknanya juga akan berubah. Dari hal ini, para sahabat pada masa khalifah ‘Ali Bin Abi Thalib – ketika banyak orang asing masuk islam – sangat memperhatikan tentang urusan ini. Kemudian khalifah ‘Ali memerintahkan Abul Aswad addu’ali[3] untuk meletakkan alamat atau tanda yang bisa menjadi patokan bagi orang-orang (ينحو الناس نحوها) - dari kata ini pula kemudian muncul sebuah cabang ilmu yang disebut ilmu nahwu- yaitu agar orang-orang bersandar pada ilmu ini dalam pelafalan bahasa arab. Pada awalnya, abul aswad merasa ragu untuk melakukan hal ini.
Pada suatu hari beliau berjalan di sebuah gang sempit dan mendengar seseorang yang sedang membaca awal surat At-Taubah yang berbunyi:
أذن من الله و رسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين و رسولُه
Pada ayat tersebut, kata yang bercetak tebal dibaca wa rasuuluh akan tetapi orang itu membaca ayat tersebut dengan wa rasuulih. Mungkin kelihatannya hanya persoalan sepele (karena hanya masalah harakat) akan tetapi, dalam bahasa arab perubahan harakat bisa mengakibatkan adanya perubahan makna dari yang awalnya bermakna “Bahwsanya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrik”  berubah menjadi “Bahwasanya Allah berlepas diri dari kaum musyrik dan Rasul-Nya” (na’udzubillah min dzalik). Setelah mendengar bacaan itu, abul aswad terkejut dan berkata “maha suci Allah, semoga Allah tidak berlepas diri dari Rasul-Nya.” lalu beliau datang kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan berkata “aku akan melaksanakan apa yang telah engkau perintahkan kepadaku”[4]  kemudian Abul Aswad mulai memberikan tanda kasrah, fathah, dan dhommah pada al-qur’an.
Setelah orang-orang a’jam masuk islam, para ulama mulai menyadari pentingnya kaidah-kaidah dalam A-Qur’an agar orang-orang tidak melakukan kesalahan. Misal, dalam al-qur’an terdapat huruf ha (ح) seperti dalam surat Al-Fatihah yang berbunyi:
بسم الله الرحمن الرحيم
Sedangkan huruf tersebut tidak terdapat dalam bahasa suatu kaum, makakaum tersebut  akan membaca:
بسم الله الرهمن الرهيم
Atau
بسم الله الرخمن الرخيم
Padahal kedua-duanya salah dan apabila hal ini terus dibiarkan, niscaya huruf-huruf Al-Qur’an akan hilang. Dan dengan hilangnya huruf-huruf tersebut akan hilang pula makna Al-Qur’an yang telah diwahyukan oleh Allah di dalamnya. Jika diumpamakan, makna bagaikan air dan lafadz bagaikan gelas. Sebagaimana telah diketahui bahwa bentuk air akan selalu mengikuti bentuk gelas yang ditempatinya. Demikian pula lafadz, ketika kita sedang melafadzkan sebuah kata misalkan   (عسى)kata ini bermakna harapan. Akan tetapi jika huruf sin dalam kalimat ini kita tebalkan, yakni (عصى) maka arti dalam kata ini sudah berubah sebagaimana pindahnya air ke tempat yang lain. Dan kata ini bisa berarti tongkat atau menyelisihi. Makna dua kata tersebut bisa jauh berbeda hanya karena perbedaan antara tebal dan tipisnya pelafalan salah satu huruf saja.
 Wallahu a’lam bish-showab.


[1] Orang yang berasal dari luar Arab
[2] Perubahan akhir harakat pada sebuah kata sesuai dengan perubahan posisinya dalam sebuah kalimat. Missal: قال اللهَ pada kalimat ini kata Allah berharakat dhommah, إن اللهَ pada kalimat ini kata Allah berharakat fathah, بالله pada kalimat ini kata Allah berharakat kasrah, dan seterusnya.
[3] Beliau adalah orang arab asli yang menguasai ilmu lahjah antar kabilah.
[4] Perintah untuk memberikan tanda pada Al-Qur’an
0 komentar

SEJARAH TITIK DAN HARAKAT

Gimana ya kalau al-qur’an yang kita baca sekarang gak ada harakatnya? Kalau ada harakatnya aja masih banyak yang salah, gimana kalau gak ada? Apalagi kalau pengen ngapal,, berapa lama kira-kira waktu yang kita butuhkan untuk menghafal? Gak usah dibayangin, coba aja ambil satu kitab  berbahasa arab tanpa harakat trus baca,, jangan banyak-banyak, satu alenia aja,, udah gitu, sebelum kita baca, kira-kira berapa lama kita harus belajar ilmu shorof, nahwu, balaghah, dan ilmu lainnya untuk bisa membaca Al-Qur’an dengan benar? Waaah,, berat banget ya? Kalau udah ada harakatnya aja banyak yang gak mau baca Al-Qur’an, gimana kalau gak ada harakatnya? Tanpa harakat aja udah kesusahan gimana kalau tanpa titik?


 Nah,, ternyata, tanda titik dan harakat itu baru muncul setelah 40 tahun umat islam membaca Al-Qur’an tanpa tanda titik dan harakat. gimana ya keadaan umat islam dulu ketika belum ada harakat? Yang ini juga gak usah dibayangkan,, soalnya mereka beda sama kita. Bedanya, mereka sudah tahu cara baca Al-Qur’an meskipun belum ada titik dan harakat karena Al-qur’an memang diturunkan dalam bahasa mereka. Sedangkan kita? ^_^ (hehe, peace)
Oke, sekarang kita mulai pembahasan kita,
Proses pembuatan tanda baca dan harakat dalam Al-Qur’an mempunyai tiga fase sehingga bias menjadi seperti yang ada di depan kita sekarang.Pemberian titik dan baris pada mushaf Alquran ini dilakukan dalam tiga fase.
Fase Pertama, pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Saat itu, Muawiyah menugaskan Abdul Aswad Ad-dawly untuk meletakkan tanda baca (i'rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
Fase kedua, pada masa Abdul Malik bin Marwan (65 H), khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya. Misalnya, huruf baa' dengan satu titik di bawah, huruf ta dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ini, wilayah kekuasaan Islam telah semakin luas hingga sampai ke Eropa. Karena kekhawatiran adanya bacaan Alquran bagi umat Islam yang bukan berbahasa Arab, diperintahkanlah untuk menuliskan Alquran dengan tambahan tanda baca tersebut. Tujuannya agar adanya keseragaman bacaan Alquran baik bagi umat Islam yang keturunan Arab ataupun non-Arab ('ajami).
Baru kemudian, Fase ketiga pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan ismam pada kalimat-kalimat yang ada.
Kemudian, pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah 'ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Alquran adalah tajzi', yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata 'juz' dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.
Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Alquran.wallahu a'lam bish-showab                                                                                                                   *alea amany*
0 komentar
Free Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Website templateswww.seodesign.usFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver