BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Situs www.hidayatullah.com, 26 April 2007, melaporkan sebuah peristiwa penting yang terjadi
di IAIN Surabaya. Peristiwa itu adalah sebuah seminar dengan tema ‘’Islam dan Pluralisme’’;
bertempat di ruang sidang rektorat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Ampel Surabaya, pada Rabu, 25 April 2007. Hadir dalam acara tersebut empat nara
sumber, yaitu Budhy Munawar-Rachman dari Universitas Paramadina (Program
officer Islam and Civil Society The Asia Foundation), Dr. Masdar
Hilmy, MA (dosen IAIN Surabaya) Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA (Ketua
Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur) dan Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
(Purek II IAIN Surabaya).
Seminar yang dihadiri sekitar 70
orang tersebut mendiskusikan urgensi pluralisme dalam situasi global saat ini,
terutama dalam konteks ke-Indonesia-an yang multikultural. Dalam makalahnya,
Budhy Munawar-Rachman, penulis buku “Islam Pluralis” menyatakan bahwa sekarang
ini, pluralisme dan dialog antaragama menjadi agenda yang semakin penting untuk
direalisasikan, terutama di kalangan ahli agama.
Menurut Budhy, seminar kali ini merupakan langkah awal selama satu
semester ini. Puncaknya nanti akan digelar sebuah pertemuan mahasiswa IAIN, STAIN
dan UIN di seluruh Indonesia yang akan membahas tentang pentingnya pluralisme
di Indonesia, demikian pemaparan Budhy Munawar-Rachman dalam prolog
penjelasannya.
Dalam situs kedutaan besar amerika serikat di Jakarta disebutkan:
“Dalam usaha menjangkau masyarakat Muslim,
Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah
serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang
pluralisme, toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan
mengirimkan sejumlah pemimpin dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk
mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme agama, pendidikan
kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan.
Pada 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa bahwa paham ‘sipilis’ (sekularisme, pluralisme agama, dan
liberalisme) adalah bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam
untuk memeluknya. Segera, setelah itu, kecaman datang bertubi-tubi pada MUI.
Ada yang menyatakan, bahwa tolol, dan sebagainya. Salah satu kritik yang
diberikan kepada MUI dalam fatwa tentang Pluralisme Agama adalah soal definisi
Pluralisme Agama itu sendiri. Ada seorang penyebar paham ini yang menyatakan,
bahwa Pluralisme Agama itu artinya ‘mutual
respect’ atau saling hormat
menghormati. Jadi, bukan membenarkan atau menyamakan semua agama. Sebab, memang
semua agama, kenyataannya tidak sama.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa ada banyak definisi tentang Pluralisme Agama. Karena itulah, MUI hanya membatasi makna Pluralisme
Agama pada satu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama (benarnya)
dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar,
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme (Agama) juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka makalah ini akan menfokuskan
pembahasan:
1.
Apa
tafsir surat Al-Baqarah ayat 62 dalam Tafsir Ibnu Katsir?
2.
Apa
yang dimaksud dengan pluralisme?
3.
Bagaimana
isu pluralisme yang berkembang di Indonesia?
4.
Bagaimana
tafsir ibnu katsir menanggapi isu pluralisme di Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui
tafsir Al-Baqarah ayat 62 dalam tafsir Ibnu Katsir
2.
Mengetahui
yang dimaksud dengan pluralisme
3.
Mengetahui
isu pluralisme yang berkembang di Indonesia
4.
Mengetahui
tafsir Ibnu Katsir dalam menanggapi isu pluralisme di Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
1.
Sebagai
bahan penelitian dan pengkajian bagi para pelajar dan mahasiswa
2.
Sebagai
rujukan dalam memberikan sikap terhadap isu pluralisme yang muncul di indonesia
3.
Agar
para mufassirin mengkaji tafsir al-qur’an berdasarkan isu-isu yang berkembang
di masyarakat
4.
Sebagai
pedoman bagi masyarakat dalam menyikapi isu pluralisme di indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Umum
Menurut Husaini (Adian, 2009) tidak bisa dipungkiri,
bahwa ada banyak definisi tentang Pluralisme Agama. Karena itulah, MUI hanya membatasi makna
Pluralisme Agama pada satu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama
(benarnya) dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang
benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme (Agama) juga mengajarkan
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
Jika
Pluralisme Agama maknanya adalah saling hormat antar pemeluk agama, maka
tidaklah perlu umat Islam dan juga umat agama lain repot-repot untuk
menjawabnya. Jauh sebelum MUI mengeluarkan fatwa, Vatikan sudah terlebih dahulu bersikap tegas
terhadap paham ini, dengan keluarnya Dekrit Dominus Iesus (2000).
Bagi Katolik, Pluralisme Agama dianggap sebagai ancaman yang serius terhadap
ajaran agama mereka. Karl Rahner, teolog Katolik terkenal yang sangat
berpengaruh dalam perumusan teologi Konsili Vatikan II (1962-1965) menyebutkan,
bahwa Pluralisme Agama adalah musuh bagi semua agama. Ia menulis:
“The
fact of the pluralism of religions, which endures and still from time to time
becomes virulent anew even after a history of two thousand years, must
therefore be the greatest vexation for Christianity. And the threat of this
vexation is also greater for the individual Christian today than even before….”
(Lihat, Karl Rahner, ‘Christianity and the Non-Christian
Religions’, in John Hick and Brian Hebbletwaite (ed), Christianity and Other Religions, (Oxford: Oneworld Publications,
2001), 20).
2.2
Pembahasan Khusus
2.2.1
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62 dalam tafsir Ibnu Katsir
setelah
Allah menyebutkan keadaan orang-orang yang menentang perintah-Nya, melanggar
larangan-larangannya, berlaku kelewat batas melebihi apa yang diizinkan, serta
berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa
mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang berbuat baik dari
kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang baik. Demikianlah
kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang yang mengikuti
Rasul, Nabi yang ummi, maka baginya kebahagiaan yang abadi. Tiada ketakut bagi
mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak pula merekabersedih hati atas apa
yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan. Makna ayat ini sama dengan
kalamullah lainnya, yaitu:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ
لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (يُونُسَ: 62)
“Ingatlah, sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada
kekhawatiranterhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih” (QS. Yunus: 62)
Seperti yang dikatakan para malaikat kepada kaum mukmin disaat
menghadapi kematiannya. Seperti dalam ayat yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا تَتَنزلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا
وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (فُصِّلَتْ: 30)
“Sesungguhnya orang-orang mengatakan, “tuhan kami ialah Allah,”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
mereka (dengan mengatakan), “jangan kalian takut dan jangan kalian merasa
sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepada
kalian,” (QS. Fussilat: 30)
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ubay, telah
menceritakan kepada kami Umar Ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a.
pernah menceritakan hadits berikut
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ، فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ،
فَنَزَلَتْ: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى
وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
“Aku pernah bertanya kepada Nabi Saw. Tentang pemeluk agama yang
dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku menceritakan kepada beliau tentang
cara shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah kalam-Nya, “sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in,
siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,” hingga
akhir ayat.”
As-Saddi mengatakan bahwa ayat yang mengatakan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا (البقرة: 62)
“Sesungguhnya
orang-orang mikmin, orang-orang yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang
shabi’in, siapa saja diantara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir
serta beramal shalih..”(Al-Baqarah: 62)
Diturunkan berkenaan dengan teman-teman salman Al-Farisi. Ketika
ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi Saw., lalu ia menyebutkan perihal
teman-teman seagamanya di masa lalu, Ia menceritakan, “Mereka shalat, puasa,
dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai
nabi.”
Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung pujiannya kepada
mereka, maka Nabi Saw. Bersabda kepadanya, “Hai Salman, mereka termasuk ahli
neraka.” Maka ini terasa amat berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat
ini.
Iman orang Yahudi adalah barang siapa yang berpegang teguh kepada
kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima hingga Nabi Isa datang,
sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa
a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti kepada syari’at Nabi Isa,
maka ia termasuk orang yang binasa.
Iman orang Nasrani adalah barang siapa yang berpegang teguh kepada
kitab injil dari kalangan mereka dan syari’at-syariat Nabi Isa, maka dia termasuk
orang mikmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad Saw. datang. Barang
siapa dari kalangan mereka yang tidak
mau mengikuti Nabi Muhammad Saw. Dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa
serta ajaran injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. Datang, maka dia termasuk
orang binasa.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa’id Ibnu
Jubair.
Menurut
kami, riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh
Ali Ibnu Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا (البقرة: 62)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi,
orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja diantara mereka yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian,” (QS. Al-Baqarah: 62)
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah
ayat berikut:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ )آل عمران: 85(
“Barang siapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima agama itu darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi” (Ali
Imran: 85)
sesungguhnya apa yang dikatakan Ibnu Abbas ini merupakan suatu
pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak
pula suatu amalan pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat Nabi
Muhammad Saw. Sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun
sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam
jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
Orang-orang Yahudi adalah pengikut Nabi Musa a.s. yaitu mereka
yang berpegang teguh kepada kitab Taurat di zamannya. Kata al-yahud diambil
dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud
yang artinya taubat, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. dalam ayat:
إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ (الاعراف: 156)
“Sesungguhnya
kami kembali kepada Engkau” (Al-A’raf: 156)
Maksudnya, kami bertaubat kepada Engkau. Seakan-akan mereka
dinamakan demikian pada asal mulanya karena taubat dan kasih sayang sebagian
mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat yang lain, nama Yahudi dinisbatkan dengan Yahuda,
nama anak tertua Ya’qub.
Abu Amr Ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka
selalu bergerak dikala membaca kitab taurat.
Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil diwajibkan untuk
mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya
dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong diantara sesama mereka. Mereka
disebut pula anshar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa dalam
Al-Qur’an:
مَنْ أَنْصَارِي إِلَى
اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ )آلِ عِمْرَانَ: 52(
“Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama)
Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab ‘kamilah
penolong-penolong (agama) Allah’” (Ali Imran: 52)
menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan demikian karena
pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan nama Nashirah.
Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta diriwayatkan pula dari Ibnu
Abbas.
Nashara adalah bentuk jamak dari nashran, sama halnya dengan
lafadz nasyawa bentuk jamak dari nasywan dan sukara bentuk jamak dari sakran.
Dikatakan nashranah untuk seorang wanita nasrani. Salah seorang penyair mengatakan,
“dan seorang wanita nasranah yang tidak pernah ibadah.”
Ketika Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw. Sebagai pemungkas
para nabi dan rasul kepada semua anak adam secara mutlak, maka diwajibkan bagi
mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya dan
mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman
sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad Saw. Dinamakan kaum mukmin karena
banyaknya keimanan dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka beriman
kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara ghaib yang akan datang.
Mengenai orang-orang shabi’in, para ulama berbeda pendapat
mengenai hakikat mereka. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Lais Ibnu Abu
Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang shabi’in)
adalah suatu kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya mereka
tidak mempunyai agama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Nujaih,
dari Mujahid.
Telah diriiwayatkan dari Atha’ dan Said Ibnu Jubair hal yang
semisal dengan pendapat di atas.
Abul Aliyah, Ar-Rabi’ Ibnu Anas, As-Saddi, Abusy Sya’sa (ibnu
jabir ibnu zaid), Ad-Dahak, dan Ishak Ibnu Rahawaih mengatakan bahwa Shabi’in adalah
suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui kitab Zabur. Karena itu, Imam
Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan bahwa tidak mengapa dengan sembelihan mereka
dan menikah dengan mereka.
Hasyim meriwayatkan dari Mutarrif, “ketika kami sedang bersama
Al-Hakam Ibnu Atabah, lalu ada seorang lelaki dari kalangan penduduk Basrah bercerita
kepadanya, dari Al-Hasan yang mengatakan tentang orang-orang Shabi’in, bahwa
sesungguhnya mereka itu sama dengan orang-orang Majusi. Kemudian Al-Hakam
berkata, ‘bukankah aku pun telah mengatakan hal yang sama kepada kalian?’.”
Abdur Rahman Ibnu Mahdi meriwayatkan dari Mu’awiyah Ibnu Abdul Karim,
bahwa ia pernah mendengar Al-Hasan menceritakan tentang orang-orang Shabi’in. dia
mengatakan behwa mereka adalah suatu kaum yang menyembah malaikat.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibnu
Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir Ibnu Sulaiman, dari
ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan, “diberitakan kepada Ziyad bahwa
orang-orang Shabi’in shalat menghadap ke arah kiblat, mereka shalat lima waktu.
Ziyad bermaksud membebaskan mereka dari pungutan jizyah, tetapi sesudah itu dia
mendapat berita bahwa mereka menyembah malaikat.”
Abu Ja’far Ar-Razi mengatakan, telah sampai berita kepadanya bahwa
orang-orang shabi’in adalah suatu kaum yang menyembah malaikat, percaya kepada
kitab Zabur, dan shalat menghadap ke arah kiblat. Hal yang sama dikatakan pula
oleh Sa’id Ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Yunus Ibnu Abdul A’la, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abuz Zanad,
dari ayahnya yang mengatakan bahwa orang-orang shabi’in adalah suatu kaum yang
tinggal di sebelah negeri Irak. Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada
semua nabi serta puasa selam tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka shalat
menghadap negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali.
Wahb Ibnu Munabbih pernah ditanya mengenai shabi’in. ia menjawab
bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak punya syari’at yang diamalkan,
tidak pula berbuat kekufuran.
Abdullah Ibnu Wahb mengatakan bahwa Abdur Rahman Ibnu Zaid pernah
berkata, “Shabi’in adalah pemeluk suatu agama yang tinggal di Maushul. Mereka
mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, tetapi mereka tidak mempunyai
amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan “tidak ada Tuhan selain Allah’.”
Abdur Rahman Ibnu Zaid mengatakan pula bahwa mereka tidak beriman kepada rasul.
Karena itulah orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi Saw. Dan para
sahabatnya, bahwa Nabi Saw. Dan sahabatnya adalah orang-orang shabi’in.
orang-orang musyrik menyerupakan Nabi Saw. Dan para sahabatnya dengan mereka
dalam hal ucapan ‘tidak ada Tuhan selain Allah’.
Al-Khalil mengatakan bahwa Shabi’in adalah suatu kaum yang
agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka mengarah kepada
datangnya angina selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada dalam agam Nabi
Nuh a.s.
Al-Qurthubi meriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Abu
Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang agamanya merupakan campuran antara
agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan mereka tidak boleh dimakan, dan kaum
wanitanya tidak boleh dinikahi.
Al-Qurthubi mengatakan, yang tersimpul dari pendapat mereka menurut
apa yang disebut oleh sebagian ulama yaitu mereka adalah orang-orang yang
mengesakan Tuhan dan meyakini akan pengaruh bintang-bintang, bahwa
bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya. Karena itulah Abu Sa’id Al
Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah orang kafir. Ia katakan
demikian ketika A-Qadir Billah menanyakan kepadanya tentang hakikat mereka.
Ar-Razi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Shabi’in adalah
suatu kaum yang menyembah bintang-bintang, dengan pengertian bahwa Allah telah
menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah dan do’a, yakni Allah menyerahkan
pengaturan urusan alam ini kepada bintang-bintang tersebut. Selanjutnya Ar-Razi
mengatakan bahwa pendapat ini dinisbatkan kepada orang-orang Kasyrani yang
didatangi oleh Nabi Ibrahim a.s. untuk membatalkan pendapat mereka dan
memenangkan perkara yang hak.
Pendapat Mujahid dan para pengikutnya serta pendapat Wahb Ibnu
Munabbih menyatakan bahwa Shabi’in adalah suatu kaum bukan pemeluk agama Yahudi,
bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula kaum musyrik. Sesungguhnya mereka
adalah suatu kaum yang hanya tetap pada fitrah mereka. Karena itulah maka kaum
musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam dengan sebutan shabi, dengan
maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama penduduk bumi di saat itu.
Sebagian ulama mengatakan, Shabi’in adalah orang-orang yang belum
sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun.
Pendapat
yang paling kuat di antara semuanya hanyalah Allah yang tahu.
2.2.2. Pengertian Pluralisme
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, plural berarti jamak, lebih dari satu. Sedangkan
pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk.
MUI hanya membatasi makna Pluralisme Agama pada satu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama (benarnya) dan karenanya
kebenaran setiap agama adalah relatif.
2.2.3.
Isu Pluralisme di Indonesia
Menurut Misrawi (Zuhairi, 2010) pluralisme
sebenarnya berusaha mengajak kita agar lebih realistis, bahwa pada hakikatnya
agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari segi
penghayatan terhadap agama (syari’at) dan yang lebih penting adalah dimensi
simbolik dan sosiologisnya. Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual
sekalipun, karena agama-agama ibarat sebuah rumah, tetapi tetap saja ada perbedaannya.
Bagi kalangan yang menganut teologi inklusif, menghendaki titik temu
agama-agama. Tetapi bagi penganut pluralisme, harus diakui sejak awal bahwa
agam-agama pada hakikatnya adalah berbeda antara satu agama dengan agama yang
lain.
Disamping itu, dalam konteks keindonesiaan,
amat diperlukan wacana yang dapat mendorong dan memperkuat kebinekaan. Di
tengah kuatnya arus disintegrasi dan fundamentalisme agama, maka pluralisme
dapat menjadi setetes embun di pagi hari. Keragaman adalah sebuah fakta yang tidak
bisa dihindarkan, tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana keragaman itu
dapat mendorong sebuah pandangan dan sikap kebersamaan.
Menurut Husaini (Adian, 2008) Pluralisme Agama
didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah
menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah
jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Tuhan siapa pun namaNya tidak
menjadi masalah. Tokoh Pluralis Agama, Prof. John Hick, lebih suka menyebutnya
"The Eternal One". Tuhan inilah yang menjadi tujuan dari semua agama.
Seorang tokoh Yahudi, Claude Goldsmid Montefiore, dalam The Jewish Quarterly
Review, tahun 1895, menulis: "Many
pathways may all lead Godward, and the world is richer for that the paths are not
new." 35 Bagi kaum Pluralis – seperti disebutkan dalam makalah Pengantar Kuliah
Umum – siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena mereka memandang,
agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena
itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan
sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah
menuju Tuhan yang satu, siapa pun namaNya.
Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan,
bahwa: "... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap
Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jarijari itu
adalah jalan dari berbagai Agama."
Jalaluddin Rakhmat juga menulis: “Semua agama
itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya
kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di
antara berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.”
2.2.2
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62 Dalam Menanggapi Isu Pluralisme di
Indonesia
Menurut Husaini (Adian, 2008) Kaum Pluralis
Agama biasanya mengambil dalil QS 2:62 dan 5:69 untuk menyatakan bahwa semua pemeluk
agama apa pun, asalkan "beriman kepada Allah", "percaya kepada
Hari Akhir" dan "beramal saleh", pasti akan selamat. Padahal,
yang dimaksud dengan "beriman kepada Allah" dalam kedua ayat
tersebut, adalah "iman" yang sesuai dengan konsep iman Islam, bukan
konsep iman kaum musyrik Arab, kaum Kristen, atau agama-agama lain. Ada yang
menyatakan bahwa karena kedua ayat tersebut tidak mewajibkan "beriman
kepada Nabi Muhammad" maka untuk meraih keselamatan, kaum Yahudi dan
Kristen (Ahlul Kitab) tidak perlu beriman kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam tafsir ibnu katsir disebutkan, Iman orang Yahudi adalah barang siapa yang berpegang
teguh kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa a.s., maka imannya diterima
hingga Nabi Isa datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat
dan sunnah Nabi Musa a.s. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikuti kepada
syari’at Nabi Isa, maka ia termasuk orang yang binasa.
Iman orang Nasrani adalah barang siapa yang berpegang teguh kepada
kitab Injil dari kalangan mereka dan syari’at-syariat Nabi Isa, maka dia termasuk
orang mikmin lagi diterima imannya hingga Nabi Muhammad Saw. datang. Barang
siapa dari kalangan mereka yang tidak
mau mengikuti Nabi Muhammad Saw. dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa
serta ajaran Injilnya sesudah Nabi Muhammad Saw. datang, maka dia termasuk
orang binasa.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan dari Sa’id Ibnu
Jubair.
Menurut
kami, riwayat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh
Ali Ibnu Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا
وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا (البقرة: 62)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang yahudi,
orang-orang nasrani, dan orang-orang shabi’in, siapa saja diantara mereka yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian,” (QS. Al-Baqarah: 62)
Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu diturunkan oleh Allah
ayat berikut:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ )آل عمران: 85(
Barang siapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima agama itu darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi (Ali Imran: 85)
Sesungguhnya apa yang dikatakan Ibnu Abbas ini merupakan suatu
pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu cara dan tidak
pula suatu amalan pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan syariat Nabi
Muhammad Saw. sesudah beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun
sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam
jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah dibahas pada bab 2,
bisa diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Orang-orang yahudi adalah pengikut Nabi Musa a.s. yaitu mereka
yang berpegang teguh kepada kitab taurat di zamannya. Kata al-yahud diambil
dari kata al-hawadah yang artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud
yang artinya taubat, seperti yang dikatakan oleh Musa a.s. dalam ayat:
إِنَّا هُدْنَا إِلَيْكَ (الاعراف: 156)
Sesungguhnya kami kembali kepada Engkau (Al-A’raf: 156)
Maksudnya, kami bertaubat kepada Engkau. Seakan-akan mereka
dinamakan demikian pada asal mulanya karena taubat dan kasih saying sebagian
mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat yang lain, nama yahudi dinisbatkan dengan yahuda,
nama anak tertua Ya’qub.
Abu Amr Ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka
selalu bergerak dikala membaca kitab taurat.
Ketika nabi Isa diutus, kaum bani israil diwajibkan untuk mengikuti
dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani
karena mereka saling menolong diantara sesame mereka. Mereka disebut pula anshar,
seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa dalam Al-Qur’an:
مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ
نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ )آلِ عِمْرَانَ: 52(
Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama)
Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab ‘kamilah
penolong-penolong (agama) Allah’ (ali Imran: 52)
menurut pendapat yang lain, mereka dinamakan demikian karena
pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang dikenal dengan nama Nashirah.
Demikian menurut qatadah dan ibnu juraij, serta diriwayatkan pula dari ibnu
abbas.
Nashara adalah bentuk jamak dari nashran, sama halnya dengan
lafadz nasyawa bentuk jamak dari nasywan dan sukara bentuk jamak dari sakran.
Dikatakan nashranah untuk seorang wanita nasrani. Salah seorang penyair
mengatakan, “dan seorang wanita nasranah yang tidak pernah ibadah.”
Ketika Allah Swt mengutus Nabi Muhammad Saw. Sebagai pemungkas
para nabi dan rasul kepada semua anak adam secara mutlak, makadiwajibkan bagi
mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya dan
mencegah diri dari apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman
sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad Saw. Dinamakan kaum mukmin karena
banyaknya keimanan dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka
beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara ghaib yang akan
datang.
Mengenai orang-orang shabi’in, para ulama berbeda pendapat
mengenai hakikat mereka. Sufyan ats-tsauri meriwayatkan dari lais ibnu abu
sulaim, dari mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang shabi’in)
adalah suatu kaum antara majusi, yahudi, dan nasrani; pada hakikatnya mereka
tidak mempunyai agama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh ibnu abu nujaih,
dari mujahid.
Telah diriiwayatkan dari atha’ dan said ibnu jubair hal yang
semisal dengan pendapat di atas.
Abul aliyah, Ar-Rabi’ ibnu anas, As-Saddi, Abusy Sya’sa (ibnu
jabir ibnu zaid), Ad-dahak, dan ishak ibnu rahawaih mengatakan bahwa shabi’in
adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab, mereka mengakui kitab zabur.
Karena itu, imam abu hanifah dan ishaq mengatakan bahwa tidak mengapa dengan
sembelihan mereka dan menikah dengan mereka
2.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, plural berarti jamak, lebih
dari satu. Sedangkan pluralism berarti keadaan masyarakat yang majemuk. MUI hanya membatasi makna Pluralisme Agama pada satu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama (benarnya) dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif.
3.
Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua
agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut
penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan
yang sama. Tuhan siapa pun namaNya tidak menjadi masalah.
4.
Apa yang dikemukakan oleh ibnu abbas dalam tafsir ibnu katsir,
merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima dari seseorang suatu
cara dan tidak pula suatu amalan pun, kecuali apa yang bersesuaian dengan
syariat Nabi Muhammad Saw. Sesudah beliau diutus membawa risalah yang
diembannya. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul di zamannya,
dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan keselamatan.
3.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis menyarankan:
1.
Agar makalah ini bisa diteliti lebih lanjut oleh para peneliti.
2.
Agar pemerintah bisa mengambil sikap terhadap isu pluralisme yang
berkembang di Indonesia.
3.
bagi tokoh agama, diharapkan bisa memberikan fatwa berkaitan
dengan isu pluralism yang sedang berkembang di Indonesia
4.
bagi masyatakat, penulis mengharapkan agar lebih hati-hati dalam
menerima berbagai macam bentuk pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat.
3.3. penutupan
Penulis sudah berusaha maksimal baik dalam
pengumpulan data, serta berhati-hati dalam penarikan kesimpulan. Saran dan
kritik sangat penulis harapkan guna melakukan perbaikan bagi penelitian
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Katsir, Ibnu.2000.Tafsir al-qur’anul ‘adzim (terjemah).
Bandung:Sinar Baru Algensindo
Misrawi,
zuhairi. 2010. Al-Qur’an kitab toleransi, tafsir tematik islam rahmatan lil
‘alamin. Jakarta: pustaka oasis
Husaini, adian.(2008),” Konsep tuhan dalam islam (catatan
harian).”, web. Hidayatullah.com (sabtu, 1 maret,11.00).
Husaini, adian.(2009),” Pluralisme agama: menjernihkan kerancuan makna (catatan
harian).”, web. Hidayatullah.com (sabtu, 24 November,11.45).
Husaini, adian.(2007),” Seminar Pluralisme Agama di IAIN
Surabaya.”, web. Hidayatullah.com (kamis, 22 November,19.30).
2 komentar:
Ingin bertanya,, jika sejak diutusnya Rasulullah
saw, syariah beliau telah me-naskh (menghapus
berlakunya) syariah yang dibawa rasul
sebelumnya.. Maka bagaimana dgn seseorang yg
pd zaman sekarang masih melakukan syariahnya
nabi Daud dgn berpuasa sepertihalnya nabi
Daud, sehari puasa dan sehari tidak.. Apakah
puasanya nabi Daud sudah tidak berlaku lg sejak
diutusnya Rasulullah saw..
Mhn penjelasan & sharing ilmunya y ustd..
Syukron..
terima kasih atas pertanyaannya,,
memang syariat yang dibawa Rasulullah telah menaskh syariat yang telah dibawa oleh para nabi sebelumnya. tapi tidak semua syariat nabi sebelumnya diganti dengan syari'at baru. bukan hanya puasa daud, puasa ramadhan pun sudah ada pada umat sebelum nabi muhammad. akan tetapi mereka mengganti puasa yang seharusnya dilakukan pada bulan ramadhan menjadi puasa pada bulan lainnya (lebih jelasnya silahkan lihat tafsir surat al-baqarah ayat 183). nah, disini rasulullah datang untuk memperbaharui syariat yang telah diselewengkan. bukan mengganti syariat yang telah ada.
maksud saya, selama ada dalil yang memperbolehkan dilaksanakannya syariat sebelum Rasulullah, itu tidak mengapa. begitu juga puasa nabi daud. karena ada hadits yang memperbolehkan kita untuk berpuasa seperti puasanya nabi daud maka tidak mengapa.
wallahu a'lam
Posting Komentar